Menjual Barang yang Belum Dimiliki
MENJUAL BARANG YANG BELUM DIMILIKI
Oleh
Al-Lajnah Ad-Daa-imah Lil Buhuuts Al-Ilmiyah Wal Ifta
Pertanyaan.
Al-Lajnah Ad-Daa-imah Lil Buhuuts Al-Ilmiyah Wal Ifta ditanya : Kami adalah beberapa orang yang bertanggung jawab atas sebuah koperasi milik kerabat kami. Dan kami membeli beberapa mobil baru dengan surat-surat pabean, dan ada pula dengan STNK. Kami mejualnya dengan sistem angsuran. Perlu diketahui bahwa kami tidak memindahkannya dengan menggunakan nama-nama kami dan tidak mengeluarkannya dari tempat penjual, tetapi kami menjualnya di tempat pembeliannya. Kami mengharap kepada Allah kemudan kepada Anda suatu jawaban. Apakah hal itu termasuk riba atau tidak? Jika memang riba, lalu bagaimana kami harus menyelamatkan diri darinya? Perlu diketahui bahwa kami tidak pernah menerima keuntungan. Semoga Allah memberikan petunjuk kepada anda.
Jawaban
Tidak diperbolehkan menjual berbagai macam mobil, baik secara tunai maupun kredit, secara berangsur maupun tidak, kecuali pemilik barang itu telah menguasainya dan menerimanya secara penuh, yakni pembeli pertama telah menerimanya, menguasainya dan memindahkannya kepada miliknya. Dan sekedar memperoleh surat-surat pabean tidak dianggap sebagai jual beli sebelum adanya penguasaan dan pemilikan barang itu secara sempurna. Berdasarkan hal tersebut, menjual mobil dengan surat-surat pabean sebelum adanya penerimaan barang dan penguasaannya secara penuh, maka dianggap sebagai jual beli yang tidak sah dan diharamkan untuk melakukannya, serta harus dibatalkan. Sedang pembayarannya dikembalikan kepada yang berhak. Dan tidak dihalalkan untuk mendapatkan hasil penjualannya kecuali dengan mengadakan akad baru setelah mobil itu menjadi milik pembeli secara penuh dan berada dalam kekuasaannya.
Wabillaahit Taufiq. Dan mudah-mudahan Allah senantiasa melimpahkan kesejahteraan dan keselamatan kepada Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam, keluarga dan para sahabatnya.
Pertanyaan.
Al-Lajnah Ad-Daa-imah Lil Buhuuts Al-Ilmiyah Wal Ifta ditanya : Apakah (termasuk yang) disyaratkan dalam penguasaan barang dagangan, memasukkannya dalam gudang, atau cukup dengan sampainya dagangan tersebut di depan kantor lembaga?
Jawaban
Penguasaan barang yang benar terhadap suatu barang diwujudkan dengan memindahkan barang dagangan dari tempat penjual ke tempat pembeli. Karena Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang barang dagangan dijual dari tempat dibeli, sampai pedagang menerimanya dan membawanya ke tempat mereka.
Telah diriwayatkan oleh Abu Dawud dan At-Tirmidzi. Dan (jika) pihak pembeli memindahkan barang tersebut ke tempat yang tidak menjadi kekuasaan penjual, itu sudah cukup berdasarkan perkataan Ibnu Umar Radhiyallahu ‘anhuma.
كُنَّا نَشْتَرِي الطَّعَامَ مِنَ الرُّكْبَانِ جِزَافًا، فَنَهَانَا رَسُولُ اللهِ أَنْ نَبِيعَهُ حَتَّى نَنْقُلَهُ مِنْ مَكَانِهِ
“Kami membeli makanan dari Ar-Rukhbaan (para pedagang) secara acak, lalu Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang kami membelinya sampai kami membawanya dari tempat tersebut” [1]
Dan dalam riwayat lain.
كُنَّا فِي زَمَانِ رَسُولِ اللهِ نَبْتَاعُ الطَّعَامَ، فَيَبْعَثُ عَلَيْنَا مَنْ يَأْمُرُنَا بِانْتِقَالِهِ مِنَ الْمَكَانِ الَّذِي ابْتَعْنَاهُفِيهِ إِلَى مَكَانٍ سِوَاهُ قَبْلَ أَنْ نَبِيعَهُ
“Kami di zaman Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam membeli makanan, lalu beliau mengutus seseorang kepada kami, yang menyuruh kami memindahkan makanan tersebut dari tempat kami membelinya, ke tempat lain sebelum kami menjualnya kembali”
Dan dalam riwayat lain juga Ibnu Umar Radhiyallahu ‘anhuma berkata. “Bahwa para sahabat membeli makanan dari para saudagar di zaman Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, lau beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengutus seseorang kepada mereka yang melarang mereka untuk menjualnya di tempat mereka membelinya, sehingga mereka memindahkan makanan tersebut ke tempat lain agar bisa mejualnya kembali”.
Dan dalam riwayat lain lagi Ibnu Umar Rahiyalahu ‘anhuma berkata.
رَأَيْتُ النَّاسَ فِي عَهْدِ رَسُولِ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم إِذَا ابْتَاعُوا الطَّعَامَ جِزَافًا يُضْرَبُونَ فِي أَنْ يَبِيعُوهُ فِي مَكَانِهِ حَتَّى يُحَوِّلُوهُ
“Aku melihat para sahabat di zaman Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, ketika mereka membeli makanan secara acak, mereka melarang menjualnya di tempat tersebut sampai mereka memindahkannya”.
Wabillaahit Taufiq. Dan mudah-mudahan Allah senantiasa melimpahkan kesejahteraan dan keselamatan kepada Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam, keluarga dan para sahabatnya.
Pertanyaan.
Al-Lajnah Ad-Daa-imah Lil Buhuuts Al-Ilmiyah Wal Ifta ditanya : Ada seorang konsumen mendatangi saya dan meminta supaya saya membeli barang yang cukup banyak, sedang saya tidak memiliki uang yang cukup untuk memenuhi permintaannya tersebut. Kemudian saya memintanya supaya memberi setengah harga barang tersebut sehingga saya akan menyediakan barang itu untuknya. Apakah hal itu termasuk ke dalam jual beli dengan penipuan? Dan apakah boleh mengajukan permintaan uang muka sebagai jaminan bahwa dia akan benar-benar membeli barang sehingga saya tida rugi? Dan bagaimanakah uang muka yang boleh itu?
Jawaban
Jika anda menjadi wakil darinya dalam pembelian barang yang dikehendaki oleh konsumen, maka tidak ada larangan untuk mengambil harga barang atau sebagiannya dari orang yang mewakilkan kepada anda untuk membeli barang tersebut, lalu anda membeli barang untuknya sesuai kriteria yang disebutkan kepada anda. Hal itu tidak disebut sebagai jual beli, karena anda tidak memiliki barang pada saat dia mewakilkan anda, dan tidak disebut sebagai salam. Sebab, salam adalah menjual sesuatu yang tidak dilihat dzatnya, hanya ditentukan dengan sifat, ditentukan tenggang waktunya, dengan syarat adanya penguasaan penuh terhadap harga total (barang) di tempat pelaksanaan akad.
Tetapi jika akad antara anda dengannya itu berdasarkan pada penjualan anda kepadanya atas barang-barang tersebut, kemudian anda membeli untuknya, maka yang demikian itu tidak diperbolehkan. Sebab, tidak diperbolehkan mejual sesuatu yang tidak anda miliki. Sehingga tidak diperbolehkan juga pengadaan akad jual beli antara diri anda dengannya, atau anda mengambil sebagian dari harga atau uang muka kecuali setelah anda membeli barang dan menguasainya serta memindahkannya menjadi milik anda.
Jual beli dengan uang muka itu boleh-boleh saja dan dibenarkan bagi orang yang menjual barang miliknya sendiri, jika ada kesepakatan antara penjual dan pembeli, yaitu pembeli membayar kepada penjual atau wakilnya sejumlah uang yang lebih sedikit dari harga barang setelah akad jual beli selesai, untuk menjadi jaminan bagi barang tersebut, agar tidak diambil oleh orang lain. Dengan ketentuan, jika pembeli mengambil barang tersebut, maka akan dimasukkan ke dalam hitungan harga dan jika dia tidak mengambil barang tersebut, maka penjual boleh mengambil dan memilikinya.
Dalil yang menunjukkan dibolehkannya uang muka ini adalah apa yang pernah dikerjakan Umar bin Al-Khaththab Radhiyallahu ‘anhu. Mengenai jual beli dengan uang muka ini. Imam Ahmad mengatakan, “Tidak ada masalah dengan jual beli ini”. Ibnu Umar Radhiyallahu ‘anhuma pun membolehkannya. Adapun hadits yang diriwayatkan dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan lafazh : “ Beliau melarang jual beli dengan uang muka”, adalah hadits dha’if, yang dinilai dha’if oleh Imam Ahmad dan selainnya, sehingga tidak dapat dijadikan sebagai hujjah.
Pertanyaan.
Al-Lajnah Ad-Daa-imah Lil Buhuuts Al-Ilmiyah Wal Ifta ditanya : Saya pernah didatangi oleh seorang konsumen dan meminta barang tertentu, ternyata barang tersebut tidak ada pada saya, tetapi ada di toko lain, dan harga di toko lain misalnya 100 riyal. Lalu setelah mengajukan permintaan itu, si pembeli berkata kepada saya : “Berapa harganya?” “ 150 riyal” jawab saya. Kemudian pembeli itu berkata, “Tidak ada masalah. Tolong bawakan barang itu kepada saya”. Dan ternyata saya bisa mendapatkan barang itu dengan harga 100 riyal, lalu saya jual kepadanya dengan harga 150 riyal, apakah praktek jual beli seperti ini boleh? Atau saya meminta kepadanya agar memberi harga barang sebesar 150 riyal, lalu saya membeli barang tersebut dengan harga 100 riyal. Dan saya mengambil keuntungan 50 riyal sebagai ongkos lelah dan kerja keras, apakah yang demikian itu dibolehkan ? Jika tidak diperbolehkan, lalu apa yang harus kami lakukan, dan apakah jual beli ini dianggap sebagai jual beli barang yang tidak dimiliki?
Jawaban
Jual beli yang disebutkan sifatnya di atas termasuk jual beli barang yang tidak anda miliki, apa yang tidak ada pada anda maka tidak diperbolehkan bagi anda untuk memperjual belikan barang itu sehingga anda benar-benar menguasai dan memindahkannya menjadi milik anda. Dan jika anda telah memiliki barang tersebut, maka anda dibolehkan untuk menjualnya kepada pembeli dengan harga yang kalian sepakati dan atas persetujuan kalian berdua. Dengan keuntungan yang bermanfaat bagi anda dan tidak memberi mudharat bagi pembeli. Tetapi, jika anda ditugasi untuk membeli barang tertentu maka anda tidak boleh mengambil tambahan yang lebih banyak dari harganya, karena wakil itu merupakan orang yang diberi amanah. Tetapi jika pembeli memberi anda bagian dari harga sebagai tanda terima kasih atas kerja yang anda lakukan, maka boleh anda mengambilnya.
Wabillaahit Taufiq. Dan mudah-mudahan Allah senantiasa melimpahkan kesejahteraan dan keselamatan kepada Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam, keluarga dan para sahabatnya.
[Al-Lajnah Ad-Daa-imah Lil Buhuuts Al-Ilmiyah Wal Ifta, Fatwa Nomor 20104. Pertanyaan ke-2 dari Fatwa Nomor 19722. dan Pertanyaan ke1 dan ke-2 dari Fatwa Nomor 19912. Disalin dari Fataawaa Al-Lajnah Ad-Daa-imah Lil Buhuuts Al-Ilmiyyah Wal Ifta, edisi Indonesia Fatwa-Fatwa Jual Beli, Pengumpul dan Penyusun Ahmad bin Abdurrazzaq Ad-Duwaisy, Terbitan Pustaka Imam Asy-Syafi’i]
_______
Footnote
[1]. HR Ibnu Hibban XI/357 nomor 4982, dan ini lafazhnya. Muslim III/1161, Ibnu Majah nomor 2229, Al-Bukhari nomor 2167, Abu Dawud nomor 3494
Artikel asli: https://almanhaj.or.id/2241-menjual-barang-yang-belum-dimiliki.html